Sentimen Pekan Depan, Debat Cawapres Hingga Suku Bunga BI

Jakarta, CNBC Indonesia – Pada pekan ini, pelaku pasar diramaikan oleh debat pertama calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), data inflasi Amerika Serikat (AS), serta keputusan suku bunga acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).

Namun pada pekan depan, pasar akan diramaikan kembali oleh debat kedua capres dan cawapres. Tetapi pada debat kedua, giliran cawapres yang akan berdebat, tentunya didampingi oleh capres.

Lalu apa saja sentimen pasar pekan depan? Berikut ini sentimen pasar pada pekan depan yang perlu dicermati oleh pasar.

Keputusan Suku Bunga Bank Indonesia

Pada pekan depan, tepatnya pada Kamis mendatang, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan kebijakan suku bunga terbarunya. Keputusan suku bunga terbaru BI akan ditunggu oleh pelaku pasar di dalam negeri, mengingat The Fed juga telah menahan suku bunga acuannya di pertemuan terakhir di tahun ini.

Diprediksi BI akan kembali menahan suku bunga acuannya pada pertemuan terakhir di tahun ini. Konsensus Trading Economics memperkirakan BI akan kembali menahan suku bunga acuannya di level 6%.

Sebelumnya pada pertemuan edisi November lalu, BI kembali mempertahankan suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate (BI7DRR) di level 6%.

Gubernur BI, Perry Warjiyo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 29 November 2023 bahwa suku bunga acuan akan ditahan sampai 2025.

Jika hingga akhir 2024 suku bunga acuan BI tetap di angka 6% sementara suku bunga The Fed berada di sekitar angka 4,5-4,75%, maka imbal hasil pasar keuangan domestik akan menjadi lebih menarik dibandingkan AS.

Lebih lanjut, dana asing berpeluang besar masuk ke dalam pasar keuangan domestik dalam jumlah yang besar khususnya di Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).

Secara historis, suku bunga BI akan mengikuti pergerakan suku bunga acuan The Fed (FFR) termasuk saat The Fed memangkas suku bunga pada 2008, misalnya, The Fed memangkas suku bunga secara agresif sebesar 400 bps dari 4,25% pada akhir 2007 menjadi 0,00-0,25% pada akhir 2009.

Pemangkasan secara agresif dilakukan untuk mendongkrak ekonomi AS yang ambruk karena Krisis Subprime Mortgage.

Bank Indonesia kemudian mengikuti kebijakan The Fed dengan memangkas suku bunga sebesar 275 bps dari 9,25% pada 2008 menjadi 6,50% pada akhir 2009.

Langkah serupa juga diambil pada 2019 di mana The Fed memangkas suku bunga sebesar 75 bps setelah ekonomi AS terpukul akibat perang dagang.
BI kemudianikuti memangkas 100 bps sehingga suku bunga ada di level 5,00% pada akhir 2019.

Debat Kedua Capres Cawapres

Masih dari dalam negeri, debat kedua Capres-Cawapres 2024 akan digelar pada Jumat pekan depan. Pada debat kedua, giliran cawapres yang akan berdebat, tentunya didampingi oleh capres.

Artinya, akan ada 3 tokoh yang kan beradu argumen pada ajang debat kedua ini, yaitu Muhaimin Iskandar, Mahfud MD, dan Gibran Rakabuming Raka.

Adapun tema debat kedua (Cawapres) yakni Ekonomi (ekonomi kerakyatan dan ekonomi digital), Keuangan, Investasi Pajak, Perdagangan, Pengelolaan APBN-APBD, Infrastruktur, dan Perkotaan.

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan jadwal debat capres-cawapres sebanyak lima kali. Terdapat tiga debat untuk calon presiden dan dua debat untuk calon wakil presiden. Artinya, masih ada empat kali debat lagi yang belum terlaksana.

Keputusan Suku Bunga Bank Sentral China

Beralih ke luar negeri, pada pekan ini tepatnya pada Rabu, bank sentral China (People’s Bank of China/PBoC) akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuan pinjaman (loan prime rate/LPR) terbarunya.

Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan PBoC akan kembali menahan LPR-nya kali ini. LPR tenor 1 tahun kembali ditahan di 3,45%. Sedangkan LPR berjatuh tempo 5 tahun juga diprediksi tetap di level 4,2%.

PBoC juga telah menerbitkan Fasilitas Pinjaman Jangka Menengah (MLF) 1 tahun dengan tingkat bunga tidak berubah sebesar 2,5%. Menyuntikkan 1,45 triliun Yuan vs 650 miliar yuan ke MLF yang jatuh tempo hari ini.

Perekonomian China masih cenderung lesu hingga kini. Melansir dariReuters,Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan ekonomi China akan tumbuh 5,4% pada 2023, kemudian pada tahun depan pertumbuhan produk domestik bruto menyusut jadi 4,6%.

Sementara itu, dari riset yang dilakukan DBS dalam judul China 2024 Macroeconomic outlook: A New Model, menunjukkan proyeksinya terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata secara tahunan (year-on-year/yoy) sebesar 5% pada 2023 dan menurun menjadi 4,5% yoy pada 2024.

Impor China juga terkontraksi 0,6% (yoy) pada November 2023 yang menunjukkan melandainya permintaan China untuk produk luar negeri. Sepanjang tahun ini, impor China terus mengalamikontraksi kecuali pada Februari dan Oktober.

Perlambatan ekonomi China juga seiring dengan deflasi yang terjadi pada Consumer Price Index (CPI) dan Producer Price Index (PPI) periode November 2023 secara tahunan (yoy).

CPI China tercatat turun atau deflasi 0,5% yoy. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni deflasi 0,2% yoy.

Deflasi ini merupakan yang terdalam sejak November 2020, seiring dengan penurunan harga pangan pada laju terkuat dalam dua tahun terakhir (-4,2% vs -4,0%pada Oktober) di tengah penurunan harga daging babi.

Lebih lanjut, Producer Price Index (PPI) China juga mengalami deflasi 3% yoy pada periode November 2023 atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni deflasi 2,6% yoy.

Pemerintah China telah memberikan serangkaian stimulus untuk mendongrak perekonomian China. Namun, karena daya beli masih lesu, maka perekonomian China hingga bulan lalu belum beranjak bangkit dan turut mempengaruhi iklim usaha di China.

Inflasi Jepang dan Keputusan Suku Bunga Bank Sentral Jepang

Tak hanya Jepang, pasar juga perlu mencermati rilis data dan agenda di Jepang, yakni data inflasi periode November 2023 dan keputusan suku bunga bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ).

Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan inflasi Jepang pada bulan lalu cenderung menurun menjadi 2,6% (yoy) dan menjadi 0,2% (month-to-month/mtm). Sedangkan inflasi inti juga diperkirakan turun menjadi 2,5% (yoy).

Sebelumnya pada Oktober lalu, inflasi Jepang mengalami kenaikan, memperkuat pandangan investor bahwa inflasi yang tinggi dapat mendorong BoJ untuk mengurangi stimulus moneter dalam waktu dekat.

Inflasi Jepang Oktober lalu naik menjadi 3,3% (yoy) dan 0,7% (mtm). Sedangkan inflasi inti Jepang Oktober lalu mencapai 2,9% (yoy).

Inflasi Jepang memang sudah berada di atas target BoJ sebesar 2% selama 19 bulan berturut-turut.

Namun, BoJ menegaskan bahwa tekanan biaya sebagian besar didorong oleh harga komoditas global yang lebih tinggi dan melemahnya yen, bukan merupakan tanda kenaikan harga berkelanjutan yang disebabkan oleh penguatan harga. permintaan domestik dan pertumbuhan upah.

Atas dasar itu, BoJ diperkirakan masih akan menahan kebijakan suku bunga ultra longgarnya di level -0,1%, meski inflasi diprediksi masih berada di atas target.

Namun, Gubernur BoJ Kazuo Ueda kemungkinan akan mulai memetakan rencana kebijakan moneternya dengan lebih jelas menyusul perubahan arah The Fed pekan ini menuju pelonggaran.

Sinyal jelas mengenai langkah BoJ selanjutnya atau perubahan prospek inflasi dapat menyebabkan perubahan besar di pasar keuangan global, terutama mengingat volatilitas nilai tukar yen baru-baru ini.

Inflasi PCE dan Data Klaim Pengangguran AS.

Dari Amerika Serikat (AS), setelah data inflasi konsumen (consumer price index/CPI) dan inflasi produsen (producer price index/PPI) periode November 2023 dirilis, pada pekan depan giliran data inflasi Personal Consumption Expenditure (PCE) periode November 2023 dirilis.

Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan inflasi PCE AS pada bulan lalu kembali menurun menjadi 2,8% secara tahunan (yoy) dan cenderung stabil secara bulanan (mtm). Jika benar demikian, maka hal ini sejalan dengan CPI dan PPI yang juga melandai.

Sementara untuk PCE inti cenderung stabil di 0,2% pada bulan lalu.

Kemungkinan besar hal ini tidak akan menggoyahkan ekspektasi mengenai tindakan The Fed di masa depan, namun kegagalan ini dapat mendorong investor untuk terus menjual dolar dan membeli saham.

Di sisi lain, kejutan kenaikan mungkin memicu pergerakan balasan, namun tidak terlalu besar, karena para pelaku pasar tampaknya bersedia bereaksi lebih banyak terhadap data dan berita utama yang memvalidasi pandangan mereka.

Tak hanya inflasi PCE bulan lalu, pada pekan depan AS juga akan merilis data klaim pengangguran mingguan untuk periode pekan yang berakhir 16 Desember 2023.

Diperkirakan, orang Amerika yang mengajukan klaim pengangguran pada pekan yang berakhir 16 Desember mencapai 218.000. Jika demikian, maka angka tersebut mengalami kenaikan dari sebelumnya pada pekan yang berakhir 10 Desember mencapai 202.000 klaim.

Kendati sempat memanas, sebenarnya dalam basis bulanan tenaga kerja AS sudah mulai mendingin. Ini tercermin dari rata-rata pergerakan empat minggu, data klaim pengangguran hanya naik 500 menjadi 220,750.

Nilai rata-rata tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan klaim pengangguran pekan sebelumnya, tetapi ini menjadi satu yang menarik karena sebenarnya kondisi pasar tenaga AS sudah mulai mendingin, terlepas kinerja November yang meningkat.

Namun saat ini, The Fed sudah mempertimbangkan akan mulai memangkas suku bunga pada pertengahan tahun depan, mengingat inflasi sudah mulai mendingin meski data tenaga kerja masih cenderung volatil. https://tipatkaiganteng.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*