
Jakarta, CNBC Indonesia – Biaya hidup di ibu kota semakin tinggi, melampaui upah minimum provinsi atau UMP. Harga barang dan jasa yang tinggi, hingga kurs rupiah yang selalu tertekan membuat biaya konsumsi masyarakat kian tinggi, di tengah rendahnya pendapatan mereka.
Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat biaya hidup di DKI Jakarta mencapai Rp 14,88 juta per bulan. Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, Rp 13,45 juta per bulan pada 2018.
Sementara itu, upah minimum provinsi (UMP) di DKI Jakarta hanya sebesar Rp5.067.381 pada 2024. UMP yang baru ditetapkan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta itupun hanya naik 3,6% atau Rp 165.583 dibanding tahun lalu.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita menjelaskan, tingginya biaya hidup di ibu kota itu disebabkan inflationary pressure yang terus-menerus dialami oleh pendapatan masyarakat, yang kurang direpresentasikan oleh data inflasi inti dan inflasi harga konsumen (IHK) yang dipakai oleh pemerintah saat ini.
“Imbasnya, aturan kenaikan upah selalu meleset dalam menangkap realitas biaya hidup pekerja, karena data inflasi yang digunakan ternyata menghasilkan rekomendasi kenaikan upah yang rendah,” kata Ronny kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (18/12/2023).
Dia mencontohkan tekanan harga bahan pokok seperti beras, telur, cabai, hingga bawang, itu yang telah menggerus pendapatan masyarakat. Di tambah beban harga transportasi yang timbul dari harga BBM, hingga inflasi di sektor properti yang selalu meninggi, di tengah beban suku bunga dan dalamnya pelemahan kurs rupiah terhadap dolar.
Tekanan dari harga-harga yang tak melulu muncul dalam inflasi umum di tengah rendahnya tingkat upah, kini terbukti telah menciptakan fenomena baru, yakni kelas menengah yang terus menerus makan tabungan, dan kelas bawah yang makin terlilit oleh pinjaman online atau pinjol.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nilai kredit macet pinjaman daring atau pinjol kini semakin meningkat. Outstanding pinjaman macet lebih dari 90 hari mencapai Rp1,73 triliun pada akhir semester I/2023, naik hingga 54,90% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, senilai Rp1,12 triliun.
Di sisi lain, pertumbuhan tabungan atau dana pihak ketiga (DPK) per Oktober 2023 hanya naik 3,9% secara tahunan (yoy), jauh lebih rendah dari pertumbuhan pada Oktober 2022 yang mencapai 9,41%. BI juga mencatat rasio simpanan terhadap pendapatan masyarakat per Oktober 2023 Indonesia sebesar 15,7%, turun dari periode yang sama tahun lalu 19,8%.
“Yang miris adalah segmen mayoritas masyarakat kita yang hidup dari satu paycheck ke paycheck lainya setiap bulan. Segmen ini tak punya tabungan. Mereka bergantung pada pendapatan bulanan, mingguan, dan harian. Itupun terkadang tak mencukupi. Sehingga solusinya, penggunaan kartu kredit, fasilitas paylater dan pinjol semakin marak,” ucap Ronny.
Menurut Ronny, penghitungan upah yang layak supaya masyarakat terus tertekan biaya hidup ialah bukan hanya berbasiskan inflasi inti dan IHK, tapi juga inflasi volatile food, Personal Consumption Expenditures Price Index (PCEPI), dan survey-survey tingkat kelayakan hidup yang lebih reliable dan representatif.
Ekonom yang juga merupakan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menambahkan, kondisi rendahnya upah masyarakat di tengah tekanan biaya hidup yang tinggi turut menjelaskan sektor informal di Indonesia terus membengkak dari waktu ke waktu ketimbang sektor pekerjaan formal.
Sebab, dengan biaya hidup yang tinggi dan upah yang minim, masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup layaknya. Akibatnya, mereka harus mencari sampingan dengan bekerja secara informal. BPS mencatat, pekerja informal di Indonesia pun dominan ketimbang pekerja formal.
Berdasarkan catatan BPS terbaru, dari jumlah penduduk bekerja di Indonesia sebanyak 139,85 juta per Agustus 2023, 59,11% ialah pekerja informal dan 40,89% pekerja formal. Jumlah pekerja informal itu pun naik dari Agustus 2019 yang porsinya sebesar 55,88% dan pekerja formal 44,12%.
“Pekerja di sektor formal terpaksa harus kerja sampingan di sektor informal, contoh kerja jam 08.00-17.00 setelahnya dia kerja buka warung, jadi pedagang asongan, jadi ojol, ini yang menjelaskan juga sektor informal selalu membesar di Indonesia, karena dengan kerja sektor formal upah segitu gak menutup,” tegas Bhima.
Menurut Bhima, kondisi yang terus dibiarkan ini menjadi ancaman serius bagi kualitas pertumbuhan negara. Dengan beban hidup yang besar dan upah yang rendah, ia memperkirakan tingkat konsumsi masyarakat akan terus stagnan di level 5% membuat pertumbuhan ekonomi juga tak mampu melampaui angka target untuk bisa menjadi negara maju, yakni 6% ke atas.
Oleh sebab itu, untuk bisa menjadi negara maju dan keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap, Bhima mengatakan, jalan keluarnya ialah pendapatan masyarakat harus naik ditandai dengan UMP yang tinggi, dan biaya hidup harus ditekan seminimal mungkin.
“Solusinya cuma dua, pertama naikkan UMP secara lebih tinggi, tentu ini tidak bisa menggunakan formulasi UMP di Undang-undang Cipta Kerja yang sekarang, kedua biaya hidup harus ditekan,” tegas Bhima.
Sumbangan biaya hidup tertinggi menurutnya juga masih berasal dari biaya sewa rumah, cicilan kredit pembelian rumah, cicilan kendaraan bermotor, biaya transportasi dari rumah ke tempat kerja, hingga beban biaya tinggi untuk pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan kebutuhan pokok yang tak nampak jelas dari catatan inflasi umum.
“Itu belum tentu tercermin di inflasi, karena kan biasanya di bahan makan sementara kenaikan harga barang setiap tahun bangunan material pasti biasanya kenaikan lebih dari inflasi sehingga gak tercermin dari data inflasi. Realistis gak inflasi 2% biaya perumahan plus suku bunga itu per tahun kenaikannya luar biasa,” tegas Bhima.
Bhima pun menanyakan, di negara-negara maju, kebutuhan-kebutuhan itu mendapat perhatian dari pemerintahannya supaya biaya hidup masyarakatnya bisa ditekan, caranya dengan pemberian subsidi secara besar-besaran. Di sisi lain, upah minimum kelas pekerjanya pun ditinggikan sebagai bagian dari stimulus perekonomian, bukan beban perusahaan.
“Dengan upah tinggi akan belanja lebih banyak keluarkan uang lebih banyak, pasti akan tercipta lapangan kerja baru, karena uang pekerja, gajinya pekerja, ujungnya kan masuk ke kantong pengusaha juga, jadi ketika permintaan tinggi dia pasti akan tambah lapangan kerja baru,” ucap Bhima.
Di sisi lain, Bhima melanjutkan, upah yang tinggi pun otomatis akan menciptakan tingginya produktivitas kelas pekerjanya. Ia tak sependapat dengan anggapan pemerintah dan pengusaha yang mengatakan upah di Indonesia masih rendah karena tingkat produktivitas masyarakat masih rendah.
“Wajar kerja seadanya, itu banyak penelitian soal itu. Produktivitas rendah karena upah rendah buat apa dia bekerja lebih. Kerja lebih upahnya segitu-segitu aja logicnya itu masuk kan, makanya dengan upah pekerja itu sekarang ada fenomena juga kan mereka pekerja memperpanjang waktu leha-leha nya,” tutur Bhima.
Pemerintah pun menurutnya juga terjebak dengan pola pikir itu karena terlalu dekat dengan pengusaha. Kini pun Indonesia terbukti berlomba-lomba menekan upah buruh dengan membandingkan upah seperti di Bangladesh dan Sri Lanka. Sedangkan, negara tetangga dengan ekonomi serupa, seperti Vietnam kini berlomba menaikkan upah kelas pekerjanya layaknya mental negara maju.
Negara-negara Eropa tercatat menjadi negara yang memberikan upah minimum tertinggi bagi masyarakatnya di tengah tekanan inflasi yang rendah. Berdasarkan data Country Economy 2022 negara dengan upah tertinggi yakni Swiss mencapai Rp 61,82 juta. Selandia Baru pun mencapai Rp 35,85 juta, dan Kanada Rp 29,02 juta.
“Itu kan biar menjadi stimulus ke ekonominya, ada Inggris melakukan itu negara-negara Eropa dan negara maju. Indo inginnya race to bottom, bersaingnya bukan dengan Vietnam tapi Bangladesh, Sri Lanka untuk bersaing membuat upah murah,” tegas Bhima.
“Menjadi anomali ketika cita-citanya ingin menjadi negara maju. Padahal, untuk menjadi negara maju standarisasinya harus seperti negara maju, maka paradigmanya harus diubah,” ungkapnya. https://perjalananini.com/