Kiamat Populasi Menghantui, Tetangga RI Paling Parah

Jakarta, CNBC Indonesia – Jumlah kelahiran di negara Asia Tenggara anjlok ke rekor terendah dalam 74 tahun terakhir pada tahun 2022. Thailand menjadi salah satu negara yang diproyeksikan mengalami penurunan terburuk.

Gangguan demografis ini pun membawa masalah lain, yaitu masyarakat tua yang semakin banyak, dimana jumlah lansia sudah mencapai seperlima dari total penduduk Thailand. Negara-negara lain di Asia seperti China, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura juga sedang bergulat dengan tren populasi serupa.

Melansir CNA, Jika trennya berlanjut, populasi Thailand yang berjumlah 66 juta jiwa akan berkurang setengahnya sebelum pergantian abad ini, dan hal ini akan berdampak besar pada perekonomian, layanan kesehatan, dan pembangunan.

Para ahli mengatakan bahwa meredakan krisis haru melalui peningkatan kesadaran dan perubahan pola pikir, meningkatkan dukungan dari semua sektor, dan memastikan langkah-langkah tersebut diterapkan dengan cepat seiring berjalannya waktu.

Menahan penurunan angka kelahiran merupakan sebuah upaya panjang. Pemerintahan Perdana Menteri Srettha Thavisin saat ini sangat menyadari proyeksi populasi dan implikasi jangka panjangnya terhadap angkatan kerja dan produktivitas.

Saat menjabat pada bulan September, Menteri Kesehatan Masyarakat Dr Cholnan Srikaew menekankan betapa pentingnya prokreasi bagi daya saing negara dan berjanji untuk memasukkan tunjangan persalinan ke dalam agenda nasional.

Ia menggarisbawahi perlunya mengubah persepsi masyarakat mengenai banyaknya anak yang dapat membuat mereka miskin.

“Orang Thailand tidak akan memiliki anak, terutama mereka yang memiliki pendidikan, pengetahuan, dan kemampuan yang baik serta mampu secara finansial. Mereka tidak akan melakukannya,” kata menteri tersebut kepada parlemen pada 12 September.

“Ini adalah sesuatu yang terdistorsi dalam masyarakat Thailand,” tambahnya.

Pada tanggal 25 Desember, sebuah komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan Masyarakat. Mereka mengadakan pertemuan dengan unit-unit terkait untuk membahas kerangka komprehensif untuk tunjangan persalinan, keselamatan ibu dan bayi, serta anak yang berkualitas.

Kementerian juga berencana membuka klinik kesuburan di setiap provinsi dan mengembangkan langkah-langkah untuk mengurangi beban pengasuhan anak, membantu perempuan yang mengalami kesulitan untuk hamil, dan membuat teknologi reproduksi berbantuan dapat diakses oleh para lajang dan LGBTQ.

Langkah ini merupakan respons terhadap anjloknya angka kelahiran di Thailand, yang turun hampir 40% hanya dalam satu dekade – dari 780.975 pada tahun 2012 menjadi 485.085 pada tahun 2022.

Menurut Departemen Kesehatan, rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita usia subur turun menjadi 1,08 anak pada tahun lalu.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan tingkat lalu, sebesar 2,1 kelahiran per perempuan, yang akan memungkinkan negara tersebut mempertahankan populasinya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

“Jika situasi ini terus berlanjut, di mana satu keluarga memiliki sekitar satu anak, populasi kita akan menyusut setengahnya dalam 60 tahun – dari 66 juta menjadi sekitar 33 juta,” kata Dr Piyachart Phiromswad dari Sasin Graduate Institute of Business Administration di Chulalongkorn University.

Ekonom ini telah mempelajari dampak transisi demografi di Thailand dan menemukan perubahan “drastis dan sangat cepat” dalam tingkat kesuburan selama empat dekade terakhir. Penurunan tersebut begitu signifikan dalam dua tahun terakhir sehingga angka kematian untuk pertama kalinya melebihi angka kelahiran di negara tersebut.

Selain perkiraan depopulasi, jumlah angkatan kerja di Thailand juga diperkirakan menurun dari lebih dari 40 juta orang saat ini menjadi 14 juta orang pada tahun 2083.

“Pada saat yang sama, populasi lansia diperkirakan meningkat dari sekitar delapan juta orang menjadi 18 juta orang – atau sekitar separuh negara,” tambah Dr Piyachart.

Ancaman Krisis Tenaga Kerja

Meskipun memutuskan apakah memiliki anak merupakan hak dasar, jumlah bayi baru lahir yang lebih sedikit dapat menimbulkan konsekuensi yang luas bagi negara dengan perekonomian padat karya seperti Thailand.

Siripong dari Bank of Thailand memperingatkan bahwa tingkat kelahiran yang rendah dapat memicu reaksi berantai yang tidak hanya menekan angkatan kerja dan produktivitas negara tersebut, namun juga menurunkan konsumsi dalam negeri, investasi asing, dan pendapatan pemerintah dari pajak yang digunakan dalam proyek-proyek pembangunan.

“Investor mungkin tidak melihat Thailand sebagai salah satu pilihan pertama mereka dan malah mempertimbangkan negara tetangga kita yang memiliki populasi usia kerja dan konsumsi yang lebih tinggi,” jelasnya.

Pada saat yang sama, negara ini mungkin perlu lebih bergantung pada impor di masa depan jika sektor ekspornya terkena dampak dari menyusutnya angkatan kerja, tambahnya.

Selain inisiatif pemerintah, para pengamat mengatakan masukan dari sektor swasta juga sama pentingnya dalam pengelolaan populasi di Thailand.

Dr Piyachart dari Universitas Chulalongkorn mencatat dampak depopulasi akan sangat besar bagi perusahaan-perusahaan besar yang bergantung pada tenaga kerja dan konsumen dalam negeri.

Oleh karena itu, lebih banyak perusahaan harus menyediakan mekanisme efektif yang akan membantu pekerja menjaga keseimbangan yang sehat antara pekerjaan dan keluarga, sarannya. https://ceretemas.com/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*