Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia mencatatkan surplus selama 43 bulan beruntun sejak Mei 2020. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan surplus kali ini mencapai US$2,41 miliar pada November 2023.
Namun, surplus ini terus mengalami penurunan. Surplus bulan November ini jauh menurun, jika dibandingkan dengan US$ 5,10 miliar pada bulan yang sama tahun 2022.
Jika ditelisik, penyebab menciutnya surplus dipicu oleh penurunan ekspor. Ekspor kumulatif Indonesia pada periode Januari hingga November 2023 mencapai US$236,41 atau turun 11,38%, jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Penurunan ini cukup parah jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-November 2022 mencapai US$268,18 miliar atau naik 28,16% dibandingkan periode yang sama tahun 2021.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan sepanjang Januari-November 2023, ekspor nonmigas mencapai US$ 221,96 miliar atau turun 12,47%. Sementara itu, ekspor migas tercatat US$ 14,44 miliar atau turun 0,67% dari pencapaian pada 2022.
Dengan demikian, penurunan ekspor Indonesia dipicu oleh penurunan ekspor nonmigas yang mencapai 12,47%.
“Jika dilihat menurut sektor penurunan ekspor nonmigas kumulatif terjadi di semua sektor. Penurunan terdalam untuk nonmigas dialami pertambangan dan lainnya 21,47% ini sejalan dengan penurunan harga komoditas tambang di pasar global,” tegas Pudji dalam rilis BPS, Jumat (15/12/2023).
Dari data BPS, harga sejumlah komoditas mengalami penurunan pada November ini. Minyak mentah tercatat turun 6,89% menjadi US$ 81,4 per barel, kemudian nikel turun 33,39% menjadi US$ 17 per metrik ton, batu bara anjlok 62,94% menjadi US$ 126,8 metrik ton, dan CPO turun 12,19% menjadi US$ 830,5 metrik ton pada November 2023.
Ekspor Andalan RI
Lebih lanjut, sejumlah produk andalan Indonesia juga mengalami penurunan ekspor sangat tajam. Lima di antaranya mencatat penurunan luar biasa pada November 2023. Padahal kelimanya adalah produk andalan RI.
Pertama, nilai ekspor minyak kelapa sawit pada November 2023 tercatat US$ 2,15 miliar atau sekitar Rp 33,3 triliun (kurs US$ 1= 15.490). Nilainya turun US$ 333,84 juta (Rp 5,17 triliun) atau 13,42% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Namun, nilai ekspor masih naik 6,6% dibandingkan bulan sebelumnya.
Kedua, BPS mencatat ekspor pakaian jadi (konveksi) dari tekstil tercatat US$ 533,32 juta atau Rp 8,26 triliun. Nilainya turun US$ 133,6 juta atau 20% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Secara bulanan, nilai ekspor masih naik 8,3%.
Ketiga adalah besi/baja. Data BPS menunjukkan ekspor besi/baja tercatat US$ 2,35 miliar atau sekitar Rp 36,4 triliun. Nilai ekspornya turun US$ 133,6 juta atau 4,71% dibandingkan November 2022(yoy) dan jatuh 6,5% dibandingkan bulan Oktober 2023 (mtm).
Keempat, ekspor pulp atau bubur kertas menurun tajam. Nilai ekspor komoditas ini mencapai US$ 262 juta atau sekitar Rp 4,06 triliun. Nilai tersebut turun US$ 95,1 juta atau 26,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Adapun, ekspor pulp ini turun 4,9% dibandingkan bulan sebelumnya.
Terakhir, penurunan dialami oleh ekspor logam dasar mulia. Nilai ekspor logam dasar mulia tercatat US$ 79,97 juta atau Rp 1,24 triliun pada November 2023. Nilai tersebut turun US$ 86,7 juta atau 52% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun, BPS mencatat nilai tersebut masih naik 5,7% dibandingkan bulan sebelumnya.
Kinerja Impor
Tidak hanya ekspor, impor Indonesia juga mengalami penurunan. BPS mencatat impor secara kumulatif periode Januari – November 2023 sebesar US$ 202,78 miliar atau turun 6,80%, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Tren penurunan impor ini tercermin dalam impor nonmigas sebesar US$ 170,31 miliar atau turun 5,57% dan impor nonmigas sebesar US$ 32,46 juta atau turun lebih dalam mencapai 12,78%.
“Jika dilihat dari penggunaannya pada Januari-November 2023, nilai impor tertinggi masih terjadi pada bahan baku penolong, yaitu US$ 147,37 miliar. Meskipun demikian, jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, impor bahan baku penolong turun 11,67% yang utamanya didorong impor komoditas bahan bakar mineral. Kemudian besi baja, dan plastik dan barang dari plastik,” kata Pudji.
Sementara itu, barang impor barang konsumsi dan modal mengalami kenaikan masing-masing sebesar 8,16% dan 9,74% pada periode Januari-Desember 2023. Dari pangsa pasarnya, tercatat China menempati posisi pertama. Namun, impor barang nonmigas China pada periode Januari – Desember 2023 tercatat tumbuh 33,31%, dibandingkan 34,03%.
Perlambatan impor RI ini erat kaitannya dengan kondisi China yang memiliki pangsa impor terbesar. Perlambatan ekonomi China juga seiring dengan deflasi yang terjadi pada Consumer Price Index (CPI) dan Producer Price Index (PPI) secara year on year/yoy yang dirilis Sabtu lalu (9/12/2023)
CPI China tercatat turun atau deflasi 0,5% yoy. Angka ini lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni deflasi 0,2% yoy.
Deflasi ini merupakan yang terdalam sejak November 2020, seiring dengan penurunan harga pangan pada laju terkuat dalam dua tahun terakhir (-4,2% vs -4,0% pada Oktober) di tengah penurunan harga daging babi.
Lebih lanjut, Producer Price Index (PPI) China juga mengalami deflasi 3% yoy pada periode November 2023 atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni deflasi 2,6% yoy. Kondisi ekonomi China yang masih lesu tak pelak mempengaruhi Indonesia.
Hantu Defisit
Ekonom Senior Bambang Brodjonegoro menuturkan pelemahan ekonomi global menjadi tantangan kinerja perdagangan RI. Penurunan surplus ke kisaran US$ 2,41 miliar pada November 2023 ini dipicu oleh faktor pelemahan ekonomi global.
“Kemudian, faktor kedua, tren penurunan harga komoditas yang sudah terjadi pada awal tahun ini akhirnya menunjukkan dampak kepada surplus kita,” ujar Bambang kepada CNBC Indonesia.
Kondisi ini menunjukkan kerawanan, kata Bambang, pasalnya Indonesia masih bergantung pada ekspor sumber daya alam. Terbukti, komoditas unggulan RI seperti minyak kelapa sawit dan nikel melemah di tengah kondisi ekonomi global yang melambat. Bambang optimistis surplus masih dapat berlanjut hingga Desember 2023.
Namun, dia tidak menjawab potensi surplus tahun depan. Bambang hanya mengingatkan bahwa pelemahan ekonomi global diprediksi masih berlanjut hingga 2024 karena sejumlah sentimen seperti suku bunga tinggi di negara maju.
“Berarti untuk menjaga performance 2024, kita harus memperhatikan negara tujuan ekspor, dalam hal ini, utamanya China, India, nomor 3 adalah AS,” kata Bambang.
Dia meyakini India bisa menjadi pasar ekspor besar RI menggantikan China. Pasalnya, kata Bambang, ekonomi India tercatat melesat dibandingkan mitra dagang RI lainnya.
“Kalau mereka tumbuh 6-7%, sementara India masih mengimpor palm oil kita, maka ini bisa menjadi solusi,” ujarnya.
Adapun, menciutnya ekspor akan memicu melebarnya defisit transaksi berjalan. Pada kuartal II-2023, transaksi berjalan Indonesia tercatat mengalami defisit, setelah tujuh bulan mengalami surplus. Defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) per kuartal II-2023 sebesar US$ 1,9 miliar atau setara 0,5% PDB.
Defisit itu terjadi di tengah kondisi penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi global serta berlanjutnya perbaikan ekonomi domestik.
Kendati demikian, Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan, defisit transaksi berjalan pada tahun 2023 sebesar 0,4% produk domestik bruto (PDB). Namun, dia melihat bulan tidak mungkin neraca transaksi berjalan untuk mencetak surplus di kisaran 0,4% PDB pada tahun ini.
“Jadi, neraca transaksi berjalan tahun ini berpotensi surplus 0,4% PDB tetapi juga berpotensi defisit hingga 0,4% PDB,” tegas Perry di dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, Agustus lalu (31/8/2023).
Outlook Rupiah
Dengan defisit transaksi berjalan dan potensi pembalikan defisit di neraca perdagangan, rupiah berpotensi melemah ke depannya.
Ekonom Senior BCA Barra Kukuh Mamia dan timnya menegaskan rendahnya surplus neraca perdagangan berarti Indonesia akan menderita akibat defisit transaksi berjalan seperti di era sebelum pandemi. Hal ini akan terjadi di tengah upaya pemerintah menarik likuiditas dolar eksportir.
Dalam paparannya, Barra mengatakan turunnya harga komoditas menambah tekanan pada cadangan devisa Indonesia. Menurutnya, pembayaran deviden adalah masalah musiman. Sementara itu, defisit struktural pada bagian dari neraca pembayaran Indonesia (NPI), membuat perekonomian Indonesia mungkin akan terus mengalami defisit di dalam transaksi berjalan, meski agak menyempit di masa mendatang.
BCA pun memperkirakan rupiah akan berakhir di kisaran Rp 15.728 per dolar AS pada tahun ini dan bergerak di kisaran Rp 16.037 tahun depan.
Sementara itu, BI memperkirakan rupiah akan finish di level Rp 15.510 pada tahun ini. Proyeksi ini naik dari prognosa 2023 sebelumnya, yakni sebesar Rp 15.280. Terutama dipengaruhi berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global yang kemudian memengaruhi aliran modal ke negara berkembang dan memberikan tekanan kepada mata uang dunia.
Kendati begitu, BI memastikan, asumsi makro untuk rupiah yang sebesar Rp 15.510 itu jauh lebih kuat dibanding dengan proyeksi rata-rata pergerakan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat untuk kuartal IV 2023 yang akan berada pada kisaran Rp 15.755 per dolar AS. https://bolalampupetak.com/